Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, ia adalah yang terputus (dari rahmat Allah). [Al Kautsar : 1-3] Surat Al Kautsar merupakan surat yang terpendek dalam Al Qur`an. Isinya mengandung ungkapan-ungkapan yang indah lagi mengagumkan, membuat yang membacanya berdecak kagum. Makna-makna kalimatnya yang kuat dan istimewa menunjukkan menjadi bagian mukjizat Ilahi. [2]
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, ia adalah yang terputus (dari rahmat Allah). [Al Kautsar : 1-3] Surat Al Kautsar merupakan surat yang terpendek dalam Al Qur`an. Isinya mengandung ungkapan-ungkapan yang indah lagi mengagumkan, membuat yang membacanya berdecak kagum. Makna-makna kalimatnya yang kuat dan istimewa menunjukkan menjadi bagian mukjizat Ilahi. [2]
Betapa agung surat ini dan betapa melimpah pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dalam bentuknya yang ringkas.
Sebenarnya, makna surat ini dapat diketahui melalui ayat penutupnya. Allah telah menghalangi kebaikan dari orang-orang yang membenci RasulNya. Ia terhalangi untuk mengingatNya, hartanya dan keluarganya, sehingga pada gilirannya, di akhirat ia akan merugi akibat dari semua perbuatan yang tidak terpuji terseut. Kehidupannya pun tanpa nilai, tidak mendatangkan manfaat. Ia tidak membekali diri dengan amalan shalih saat hidup di dunia, sebagai bekal di hari akhiratnya. Hatinya akan terhalangi dari kebaikan, sehingga dia tidak mengenali kebaikan, apalagi mencintainya. Begitu juga ia terhalang dari beriman kepada RasulNya. Amalan-amalannya akan terhalangi dari ketaatan. Tidak ada satupun yang menjadi penolong baginya. Dia tidak akan memberikan apresiasi terhadap ajaran Rasulullah, bahkan ia menolaknya untuk memuaskan hawa nafsunya atau pengikutnya, gurunya, pemimpinnya dan lain-lain.
Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah atau menolaknya untuk memuaskan hawa nafsumu, atau membela mazhabmu, atau disibukkan dengan syahwat-syahwat atau urusan dunia. Sesungguhnya Allah l tidak mewajibkan untuk taat kepada seseorang, kecuali taat kepada RasulNya, dan mengambil apa-apa yang datang darinya. Jika seluruh makhluk menyelisihi seorang hamba sementara ia taat kepada Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak akan menanyainya tentang itu. Maka barangsiapa yang taat atau ditaati, sesungguhnya hal itu terjadi hanya dengan mengikuti Rasul. Seandainya diperintahkan dengan sesuatu yang menyelisihi Rasul, maka tidak perlu ditaati. Pahamilah hal itu, dan dengarkanlah. Taatilah dan ikutilah, jangan berbuat bid`ah, niscaya amalanmu tidak akan terputus dan tertolak. Tidak ada kebaikan bagi amalan yang jauh dari Sunnah Rasul, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang mengamalkannya. Wallahu a’lam.[3]
Ayat ini menunjukkan keluasan karunia tanpa batas, dan kenikmatan yang besar lagi melimpah. Seperti firman-Nya
Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. [Adh Dhuha : 5]
Karunia yang besar ini berasal dari Dzat Pemberi karunia Yang Besar, kaya, lagi luas anugerahnya. Oleh karena itu, kata ganti pertama (mutakallim) dalam ayat ini, bentuknya dijama`kan, menjadi innaa (إِنَّآ) yang menandakan keagungan Sang Rabb, Dzat Yang Maha Pemberi.
Karunia ini ini utuh dan berkesinambungan sebab kalimat pada ayat ini diawali dengan kata inna yang menunjukkan penegasan dan realisasi kandungan berita layaknya fungsi sumpah. Demikian juga, Allah menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau) dalam kalimat ini, yang bertujuan sebagai penekanan kejadian peristiwa. Sebab obyek yang sifatnya harapan yang berasal dari Dzat Yang Maha Mulia, terhitung sebagai perkara yang pasti terjadi.
Kata Al-Kautsar berbentuk wazan fau’al seperti kata naufal. Bangsa Arab menamakan segala sesuatu yang melimpah baik kuantitasnya, atau besar kedudukan dan urgensinya dengan nama kautsar.
Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam menafsikan Al Kautsar yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat mereka terangkum dalam keterangan berikut ini :
Pertama, sungai di surga.
Kedua, telaga Nabi di Mahsyar.
Ketiga, kenabian dan kitab suci.
Keempat, Al Qur`an.
Kelima, Islam.
Keenam, kemudahan memahami Al Qur`an dan aturan syariat.
Ketujuh, banyaknya sahabat, ummat dan kelompok-kelompok pembela.
Kedelapan, pengutamaan Nabi diatas orang lain
Kesembilan, meninggikan sebutan Nabii
Kesepuluh, sebuah cahaya dihatimu mengantarkanmu kepada-Ku, dan menghalangimu dari selain-Ku
Kesebelas, syafaat.
Keduabelas, mukjizat-mukjizat Allah yang menjadi sebab orang-orang meraih hidayah melalui dakwahmu.
Ketigabelas, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Keempatbelas, memahami agama.
Kelimabelas, shalat lima waktu.
Keenambelas, perkara yang agung.
Ketujuhbelas, kebaikan yang merata yang Allah berikan kepada Beliau.
Pertama, sungai di surga.
Kedua, telaga Nabi di Mahsyar.
Ketiga, kenabian dan kitab suci.
Keempat, Al Qur`an.
Kelima, Islam.
Keenam, kemudahan memahami Al Qur`an dan aturan syariat.
Ketujuh, banyaknya sahabat, ummat dan kelompok-kelompok pembela.
Kedelapan, pengutamaan Nabi diatas orang lain
Kesembilan, meninggikan sebutan Nabii
Kesepuluh, sebuah cahaya dihatimu mengantarkanmu kepada-Ku, dan menghalangimu dari selain-Ku
Kesebelas, syafaat.
Keduabelas, mukjizat-mukjizat Allah yang menjadi sebab orang-orang meraih hidayah melalui dakwahmu.
Ketigabelas, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Keempatbelas, memahami agama.
Kelimabelas, shalat lima waktu.
Keenambelas, perkara yang agung.
Ketujuhbelas, kebaikan yang merata yang Allah berikan kepada Beliau.
Al Wahidi berkata,”Kebanyakan ahli tafsir berpendapat, bahwa Al Kautsar adalah sungai di surga.” [4]
Panutan para ulama tafsir, Ibnu Jarir At Thabari berkata: “Pendapat yang paling utama menurutku adalah pendapat orang yang mengatakan Al Kautsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya.
Kami mengatakan itu sebagai tafsiran yang paling utama lantaran banyaknya riwayat dari Rasulullah yang menjelaskannya” [5]
Al Qurtubi berkata , ”Penjelasan yang paling benar adalah perkataan yang pertama dan kedua, karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi dalam sebuah nas tentang Al Kautsar.”[6]
Asy Syaukani mengatakan,”Tafsir ini dari Ibnu Abbas, pandangannya bertumpu pada maknanya secara bahasa. Akan tetapi Rasulullah telah menafsirkannya sebagai sungai di surga dalam haditsnya yang shahih”.
Aku (Syaikh Salim) berkata: Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tafsir merupakan kebenaran yang nyata, karena beberapa perkara berikut ini:
Pertama : Telah diriwayatkan dari Rasulullah , bahwasanya Beliau menafsirkan Al Kautsar sebagai sungai di surga dalam beberapa hadits. Diantaranya.
Dari Anas, dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, Beliau mengantuk sekejap. Kemudian Beliau mengangkat kepalanya dengan senyum. Maka kami bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Baru saja turun kepadaku sebuah surat,” maka Beliau membaca surat Al Kautsar. Kemudian Rasulullah bersabda,”Apakah kalian tahu apakah Al Kautsar itu?” Maka kami berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan Rabbku Azza wa Jalla untukku. Disana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang….” [7]
Kedua. Keterangan-keterangan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan nash hadits yang shahih.
Dari Abi Basyar dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, sesungguhnya dia berkata tentang Al Kautsar. Ia adalah limpahan kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah. Abu Bisyr berkata kepada Said bin Jubair ‘Sesungguhnya orang-orang menyangkanya sungai di surga’. Maka Said berkata,”Sungai di surga merupakan bagian dari kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah” [8].
Ibnu Athiyah menyatakan : “Alangkah indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah tentang sungai (di surga) telah ditetapkan dalam hadits Isra (mi’raj) dan hadits lainnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawatNya kepada Muhammad dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayahNya.” [9]
Ibnu Katsir menjelaskan : “Penafsirannya bisa dengan sungai dan selainnya. Karena Al-Kautsar berasal dari kata Al Katsrah, yaitu kebaikan yang melimpah ruah. diantaranya adalah berbentuk sungai tersebut… Telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya dia menafsirkannya dengan makna sungai juga.
Ibnu Jarir berkata : “Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami (ia berkata), Umar bin Ubaid telah menceritakan kepada kami dari Atha`dari Said bin Jubair dari Ibnu Abba, ia berkata:”Al-Kautsar adalah sungai di surga. Kedua tepi sungai tersebut adalah emas dan perak, mengalir di atas yaqut (sejenis batu mulia) dan mutiara, airnya putih berasal dari salju dan lebih manis daripada madu.”[10]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Jadi, kutipan Said bin Jubair terhadap perkataan Ibnu Abbas yang berbunyai “(Al-Kautsar) itu adalah kebaikan yang melimpah ruah”. tidak bertentangan dengan pernyataan lainnya yang menafsirinya sebagai sungai di surga. Karena sungai merupakan bagian dari kebaikan yang banyak. Mungkin saja Sa’id ingin menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Abbas lebih utama karena bersifat umum. Akan tetapi telah ditetapkan pengkhususannya dengan sungai dari keteranan Nab, maka tidak ada pilihan untuk mengesampingkannya”. [11]
Dengan itu menjadi jelas bahwa:
1). Tafsir Ibnu Abbas tidak berltabrakan dengan penjelasan Rasullullah bahwa Al-Kautsar adalah sungai di surga. Bahkan ini juga merupakan tafsiran Ibnu Abbas dalam riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan, sebagai telah disebutkan oleh Ibnu Katsir.
2). Bahwa tafsir Ibnu Abbas masuk dalam kandungan ayat secara umum. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata:”Kata Al-Kautsar yang sudah populer merupakan sungai di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang jelas lagi shahih.
1). Tafsir Ibnu Abbas tidak berltabrakan dengan penjelasan Rasullullah bahwa Al-Kautsar adalah sungai di surga. Bahkan ini juga merupakan tafsiran Ibnu Abbas dalam riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan, sebagai telah disebutkan oleh Ibnu Katsir.
2). Bahwa tafsir Ibnu Abbas masuk dalam kandungan ayat secara umum. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata:”Kata Al-Kautsar yang sudah populer merupakan sungai di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang jelas lagi shahih.
Ibnu Abbas berkata : Al-Kautsar sesungguhnya merupakan kebaikan yang banyak, yang Allah berikan kepada Rasulullah. Jika penduduk surga yang paling rendah (tingkatannya saja) dianugerahi dengan sepuluh kali lipat dunia seisinya. Maka bayangkan saja apa yang akan Allah sediakan bagi Rasulullah dalam surga kelak. Maka, Al-Kautsar menjadi sinyal dan indikator banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada Nabi yang berbentuk kebaikan-kebaikan dan tambahan lainnya serta begitu tingginya kedudukannya (nikmat-nikmat itu). Sungai tersebut yaitu Al-Kautsar, merupakan sungai yang terbesar, paling bagus airnya, paling jernih, paling manis dan yang tertinggi.
Jadi, maksudnya adalah Al-Kautsar merupakan sungai di surga, menjadi bagian kebaikan yang banyak sekali yang Allah anugerahkan kepada rasulNya di dunia dan akhirat. [12]
Aku (Syaikh Salim) berkata: Perkataan yang memastikannya dengan sungai di surga adalah pendapat yang benar, karena adanya keterangan jelas dari Rasulullah. Meskipun tafsiran yang umum tidak berseberangan dengan tafsiran yang khusus, sebab itu termasuk menjadi bagiannya. Tapi ada unsur pemutarbaikan fakta. Alasannya, kebaikan yang melimpah yang diberikan Allah juga mencakup Al-Kautsar. Hal ini telah tercantum dalam hadits Anas yang telah lewat dalam Shahih Muslim : “Itu adalah sungai yang dijanjikan Rabbku. Di sana terdapat kebaikan yang melimpah”. Ini masuk dalam kategori penyebutan obyek yang besar untuk memasukkan kenikenikmatan yang tingkatannya lebih rendah”.
Ketiga : Keterangan yang dikemukakan oleh Al-Qurtubi, yaitu :
“Dan semua tafsiran yang dikemukakan dalam masalah ini (makna Al-Kautsar), telah diberikan kepada Rasulullah sebagai tambahan atas karunia telaga. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan yang banyak kepada Beliau” [13]
“Dan semua tafsiran yang dikemukakan dalam masalah ini (makna Al-Kautsar), telah diberikan kepada Rasulullah sebagai tambahan atas karunia telaga. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan yang banyak kepada Beliau” [13]
Jadi, tidak ada yang pertentangan antara penafsiran Al-Kautsar dengan sungai atau telaga.
Al-Kautsar adalah sungai di surga dan airnya akan dialirkan keadalam telaga. Maka Al-Kautsar airnya berada dalam sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Dzar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa bejananya al-ahaudh (telaga)?” Rasulullah menjawab: ” Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh bejananya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang dan planet-planet yang ada di langit di malam malam gelap gulita tanpa awan. Bejana-bejana dari surga. Barangsiapa yang minum darinya, maka tidak akan merasa haus selamanya. Ada dua talang dari surga yan menjulur ke dalamnya. barangsiapa yang minum darinya, tidak akan merasa haus selamanya. Lebar sungai tersebut sama dengan panjangnya, kira-kira sejauh antara Amman dan Aila`. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu”.[14]
WAJIBNYA BERIMAN KEDAPA TELAGA NABI
Al-Qurtubi berkata dalam Al-Mufhim [15]
“Di antara perkara-perkara yang diwajibkan atas setiap muslim mukallaf untuk mengetahuinya dan membenarkannya adalah:
Al-Qurtubi berkata dalam Al-Mufhim [15]
“Di antara perkara-perkara yang diwajibkan atas setiap muslim mukallaf untuk mengetahuinya dan membenarkannya adalah:
Bahwasanya Allah telah menganugerahkan karunia buat NabiNya Muhammad secara khusus berupa Al-Kautsar, yaitu haudh (telaga) yang telah dijelaskan nama, sifat, minuman dan bejananya dalam banyak hadits yang shahih dan masyhur. Sehingga membekaskan pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang bulat. Sebab, telah diriwayatkan dari Nabi melalui lebih dari tiga puluh sahabat-sahabat, riwayat dua puluh orang diantara mereka tercantum dalam Shahihain dan riwayat lain terdapay dalam selain dua kitab tersebut, dengan jalur periwayatan yang shahih dan riwayat yang masyhur”
Ulama salaf dan ulamah ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan kholaf telah sepakat untuk menetapkannya. Sedangkan aliran ahli bid’ah mengingkarinya. Merka menyimpangkannya dari makan tekstualnya, dan berlebih-lebihan dalam menafsirkannya tanpa dalil yang bisa diterima akan atau budaya. Padahal tidak ada kepentingan untuk menakwilkannya. Maka, muncullah orang-orang yang merobek kesepakatan ulama salaf dan meinggalkan madzhab imam generasi khalaf.
Qadli Iyadh berkata: “Hadits-hadits tentang telaga adalah shahih, beriman kepadanya merupakan suatu kewajiban, dan membenarkannya merupakan bagian dari iman. Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah maknanya adalah seperti makna zhahirnya, tidak perlu ditakwilkan atau diperdebatkan lagi.
Haditsnya bersifat mutawatir. Banyak sahabat yang meriwayatkannya. Imam Muslim menyebutkan hadits itu melalui riwayat Ibnu Amr bin ‘Ash, Aisyah, Ummu Salamah, Uqbah bin Amir, Ibnu Mas`ud, Harits bin Wahab, Mustaurid, Abu Dzar, Tsauban, Anas dan Jabir bin Samurah.
Sedangkan selain Imam Muslim, meriwayatkannya melalui sahabat Abu Bakar As-Siddiq, Zaid bin Arqam, Abu Umamah, Abdullah bin Zaid, Abu Barzah, Suwaid bin Jabalah, Abdullah bin Ash Shanabahi, Al Barra` bin ‘Azib, Asma` binti Abu Bakr, Khaulah binti Qais dan lain-lain.
An-Nawawi berkata: Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga dari Abu Hurairah.
Selain Bukhari dan Muslim juga meriwayatkannya dari riwayat Umar bin Khatthab, ‘A’idz bin Umar dan lainnya.
Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi telah mengumpulkan seluruhnya dalam bukunya Al Ba’tsu Wan Nusyur lengkap dengan sanad-sanadnya. Qhadi Iyadl berkata, “Dengan pnejelasan ini, hadits tersebut bisa masuk kategori mutawatir.”[16]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Seluruh sahabat yang disebutkan Qadli Iyadh berjumlah dua puluh lima orang, An-Nawawi menambah tiga sahabat lagi dan aku telah menambah jumlah itu sebanyak yang mereka sebutkan, sehingga semuanya berjumlah lima puluh orang sahabat….
Telah sampai kepadaku kabar bahwa sebagian ulama mutaakhirin (ulama-ulama sekarang) mencatat jumlah sahabat (yang meriwayatkannya) lebih dari delapan puluh orang”.
Jadi, ayat tersebut menunjukkan dengan jelas terhadap apa yang menjadi masyhur di kalangan mayoritas ulama tentang keistimewaan pemberian Al-Kautsar kepada Nabi kita. Beliaulah yang mempunyai maqam mahmud dan al-haudh (telaga).
Ya Allah! berikanlah kami minum dari telaga itu yang akan membuat kami tidak akan merasa haus setelah meminumnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya Engkau menjamin segala kebaikan dan Cukuplah Engkau bagi kami, sebaik-baik penolong dan hanya kepadaMu tujuan hidup kami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Diangkat dari Khulashatul Atsari Fi Ta’wili Qaulihi Ta’ala Inna A’thainaakal Kautsar dari Majalah Al-Ashalah Th. V edisi 29, 15 Sya’ban 1421H. Diterjemahkan oleh Suhaib Singapuri hafidzahullah.
[2]. Al-Fawaid Al-Musyawwiq hlm. 253-255
[3]. Daqaiqu At-Tafsir (6/311-312)
[4]. Al-Wasith Fi Tafsiri Al-Quranil Majid (4/565)
[5]. Jami’u Al-Bayan Fi Tafsiri Al-Qur’an (30 : 208-209)
[6]. Al-Jami’u Li Ahkamil Qur’an (20/218)
[7]. HR Muslim (400) kitab shalat bab hujjatu man qaala al-basmalah ayatun min awwali kulli surat siwa bara’ah.
[8]. HR Bukhari (8/731 – Fathul Bari), kitab at-tafsir bab surat Inna A’thainaakal Kautsar
[9]. Al-Muharrar Al-Wajiz Fi Tafsiri Al-Kitabi Al-Aziz (16/372-373)
[10]. Tafsiru Al-Quranil Azhim (4/596)
[11]. Fathul Bari (8/732)
[12]. Daqaiqu At-Tafsir (6/312-313)`
[13]. Al-Jami’u Li Ahkamil Quran (20/318)
[14]. HR Muslim (2300) kitab al-fadhail bab itsbati haudh nabiyyina washfan
[15]. Al-Muslim (6/90)
[16]. Syarah Shahih Muslim (15/52-53) ا نا اءطينك ا اكؤ شر وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ عن أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
_________
Footnotes
[1]. Diangkat dari Khulashatul Atsari Fi Ta’wili Qaulihi Ta’ala Inna A’thainaakal Kautsar dari Majalah Al-Ashalah Th. V edisi 29, 15 Sya’ban 1421H. Diterjemahkan oleh Suhaib Singapuri hafidzahullah.
[2]. Al-Fawaid Al-Musyawwiq hlm. 253-255
[3]. Daqaiqu At-Tafsir (6/311-312)
[4]. Al-Wasith Fi Tafsiri Al-Quranil Majid (4/565)
[5]. Jami’u Al-Bayan Fi Tafsiri Al-Qur’an (30 : 208-209)
[6]. Al-Jami’u Li Ahkamil Qur’an (20/218)
[7]. HR Muslim (400) kitab shalat bab hujjatu man qaala al-basmalah ayatun min awwali kulli surat siwa bara’ah.
[8]. HR Bukhari (8/731 – Fathul Bari), kitab at-tafsir bab surat Inna A’thainaakal Kautsar
[9]. Al-Muharrar Al-Wajiz Fi Tafsiri Al-Kitabi Al-Aziz (16/372-373)
[10]. Tafsiru Al-Quranil Azhim (4/596)
[11]. Fathul Bari (8/732)
[12]. Daqaiqu At-Tafsir (6/312-313)`
[13]. Al-Jami’u Li Ahkamil Quran (20/318)
[14]. HR Muslim (2300) kitab al-fadhail bab itsbati haudh nabiyyina washfan
[15]. Al-Muslim (6/90)
[16]. Syarah Shahih Muslim (15/52-53) ا نا اءطينك ا اكؤ شر وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ عن أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
No comments:
Post a Comment